Para ulama sepakat bahwa khamar jika berubah dengan sendirinya menjadi cuka, tanpa ada rekayasa, misalnya dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya atau memindahkannya dari tempat yang panas ke tempat yang teduh, maka cuka itu menjadi suci. Artinya bahwa istihalah ini menjadikannya suci. Dari kalangan Hanafiyah, Imam al-Kasani berkata, “Apabila khamar itu menjadi cuka dengan sendirinya, maka para ulama sepakat bahwa cuka itu halal untuk diminum. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka.”

Dari kalangan Hanafiyah juga, Imam Ibn ‘Abidin telah menuturkan hal-hal yang suci sampai 30 buah lebih, di antaranya adalah khamar yang menjadi cuka. Imam al-Baji dari ulama Malikiyah berkata, “Apabila sifat zat cair menjadi cuka setelah sebelumnya adalah khamar, maka dalam proses perubahannya tidak lepas dari ada atau tidak adanya rekayasa. Apabila sifat zat itu menjadi cuka melalui rekayasa manusia, maka menurut madzhab kami, rekayasa ini tidak diperbolehkan.”

Artinya, jika khamar itu menjadi cuka tanpa campur tangan manusia, maka hukum mengonsumsinya menjadi boleh.

Adapun dari kalangan Syafi’iyah, Imam al-Nawawi berkata, “Suatu benda yang najis tidak dapat berubah menjadi suci, kecuali khamar yang berubah menjadi cuka.”

Dari kalangan Hanabilah, Imam Ibn Qudaman berpendapat sama, “Segala sesuatu yang najis tidak dapat menjadi suci dengan istihalah, kecuali khamar yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya.”

Inilah kesepakatan para ulama mengenai khamar yang berubah menjadi cuka.

Selanjutnya al-Khathib al-Syarbini menuturkan, “Benda najis tidak dapat disucikan dengan dibasuh atau istihalah. Misalnya anjing, ketika jatuh ditempat pembuatan garam, maka menjadi garam, atau ketika terbakar, maka menjadi abu.

Adapun benda yang terkena najis (mutanajjis), maka akan dibahas kemudian. Kecuali dua hal: (1) khamar yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka dihukumi suci. Alasannya, ‘illat najis dan keharamannya (memabukkan) telah hilang. Disamping itu, biasanya perasan buah tidak mungkin menjadi cuka kecuali setelah mengalami fermentasi (menjadi khamar). Seandainya kita tidak menghukuminya suci, tentu akan sulit memproduksi cuka yang halal. Padahal cuka berdasarkan ijma’ ulama adalah halal.

Rasulullah Saw telah menjadikan cuka sebagai lauk favorit dalam sabdanya, “Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka.” Apresiasi tersebut menunjukkan bahwa cuka adalah halal. Karena Rasulullah Saw tidak akan mengapresiasi cuka jika diharamkan. Kehalalan ini berlaku jika khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Adapun khamar yang mengalami perubahan melalui campur tangan manusia, atau yang disebut dengan asetifikasi (proses pengalihan menjadi cuka atau al-takhil), maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini sebagai berikut:

Madzhab Hanafi
Imam al-Kasani berkata, “Apabila khamar itu menjadi cuka dengan sebuah proses dengan menaruh cuka, gara, atau lainnya, maka asetifikasi (proses pengalihan menjadi cuka) ini diperbolehkan, dan cuka yang dihasilkan pun, menurut madzhab kami, adalah halal.” Kemudian al-Kasani menyebutkan pendapat al-Syafi’i rahimahullah dalam hal ini yang tidak membolehkan asetifikasi di atas, dan tidak menghalalkan cuka yang dihasilkan. Selanjutnya al-Kasani berkata, “Pendapat kami berdasarkan sebuah riwayat bahwa Nabi Saw bersabda, “Kulit apa saja yang disamak, maka ia menjadi suci.”

Seperti halnya khamar yang diasetifikasi menjadi cuka, maka hukumnya pun menjadi halal. Dengan begitu sabda Nabi Saw ini sejalan dengan kebolehan asetifikasi, maka cuka yang dihasilkan pun secara syariat hukumnya adalah halal. Hal itu karena asetifikasi merupakan cara untuk memproduksi cuka, maka ia pun diperbolehkan, karena ia akan mengubah khamar itu menjadi cuka.

Imam Ibn ‘Abidin menyebutkan hal-hal yang suci, di antaranya adalah khamar yang menjadi cuka dan asetifikasinya. Menurutnya, yang dimaskud dengan asetifikasi (al-takhlil) disini adalah melakukan proses pencukaan pada khamar, dengan cara memasukkan sesuatu kedalamnya, seperti proses membuat cuka pada umumnya. Keduanya masuk dalam kategori perubahan zat.

Mengutip dari kitab al-Fath, Imam Ibn ‘Abidin berkata, “Sesungguhnya syariat menghubungkan sifat najis dengan hakikatnya. Hakikat najis dianggap hilang apabila beberapa bagian dari hakikat itu hilang.

Bagaimana jika hakikatnya hilang semua?

Maka garam berbeda dari tulang dan daging. Jika tulang menjadi garam, maka statusnya adalah garam.

Analoginya dalam syariat, sperma itu adalah suci. Kemudian ia menjadi segumpal darah, maka statusnya menjadi najis. Setelah itu ia menjadi segumpal daging, maka statusnya menjadi suci lagi. Begitu pula dengan perasan buah adalah suci, kemudian menjadi khamar, maka statusnya menjadi najis. Setelah itu menjadi cuka, maka menjadi suci lagi.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa istihalah pada suatu benda mengikuti hilangnya sifat yang ada pada benda tersebut.

Madzhab Maliki

Imam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi berkata kepada Imam Abdurrahman bin Al-Qasim al-Itqi, “Aku ingin bertanya kepadamu, bagaimana menurut pendapat Malik tentang semua minuman ini jika sifatnya rusak dan berubah menjadi khamar. Apakah seorang muslim boleh memprosesnya lagi menjadi halal dengan cara mengubahnya menjadi cuka, atau tidak?”

Imam ‘Abdurrahman menjawab, “Dalam masalah khamar ini, Imam Malik menyatakan bahwa seorang muslim mmiliki cairan khamar, maka ia harus menumpahkannya. Tetapi jika ia berani dan mampu menjadikannya sebagai cuka, maka khamar itu menjadi cuka yang boleh dikonsumsi. Hanya saja, usahanya dalam asetifikasi ini merupakan hal yang sangat buruk.”

Imam al-Baji berkata. “Jika cairan itu menjadi cuaca setelah sebelumnya berupa khamar, maka perubahan sifat ini dapat terjadi dengan rekayasa manusia atau tanpa rekayasa. Jika perubahan cuka ini terjadi dengan rekayasa manusia, maka menurut kami, istihalahnya dilarang.

Untuk menguatkan argumennya, Imam al-Baji mengutip riwayat Imam Malik dalam kitabnya al-muwaththa,’ dari Ibn ‘Abbas ra, beliau menuturkan, “Seorang pria memberikan hadiah kepada Rasulullah Saw satu rawiyah khamar (wadah yang berukuran besar yang terbuat dari kulit). Rasulullah Saw pun heran, “Tidaklah kamu tahu bahwa Allah telah mengharam-kannya?”

“Tidak,”jawab pria itu polos. Kemudian orang disampingnya membisikkan kata-kata kepadanya. “Apa yang kamu bisikkan kepada pria itu?” tanya Rasulullah Saw. “Aku menyuruh dia untuk menjualnya.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang haram diminum, maka haram juga dijual.” Kemudian pria itu membuka tutup dua buah mazadah (wadah dari kulit) miliknya hingga cairan khamar itu tumpah.

Menurut al-Baji , hadist ini menunjukkan bahwa pria yang menghadiahkan dua mazadah khamar itu menumpahkan keduanya dihadapan Rasulullah Saw, dan beliau tidak melarangnya. Seandainya khamar itu boleh diproses untuk menjadi cuka, tentu Rasulullah Saw tidak membolehkan pria itu untuk mengubahnya menjadi cuka, sebagaimana yang beliau lakukan kepada orang-orang yang memiliki bangkai untuk memanfaatkan kulitnya dengan cara menyamaknya.

Sumber: http://www.masjidistiqlal.or.id/Kajian/tabid/976/ID/6087/Pendapat-Ulama-Seputar-Istihalah.aspx