Ketika Nabi Muhammad Saw mengurus sahabat Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah di Yaman, di antara pesan beliau kepadanya adalah, “…bahwa Allah telah mewajibkan zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka.” Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini oleh sementara kaum Muslimin dijadikan sebagai argumen bahwa zakat sepenuhnya menjadi hak orang-orang fakir dan sejenisnya. Merekalah yang menentukan untuk apa harta zakat itu dipergunakan, karena Nabi Saw menegaskan bahwa harta zakat itu ‘dikembalikan’ kepada orang-orang kafir.

Di sisi lain, sabda Nabi Saw itu juga dipahami oleh sementara orang bahwa memindahkan harta zakat dari wilayah wajib zakat ke wilayah lain tidak diperbolehkan, karena Nabi Saw juga me-negaskan bahwa harta zakat itu dikembalikan kepada orang-orang fakir yang ada di kalangan para wajib zakat.

Tekstual

Kecenderungan memahami sumber-sumber agama secara tekstual ini telah menjadikan zakat selalu dialokasikan dalam bentuk-bentuk konsumsif seperti yang berkembang selama ini. Alokasi harta zakat dalam bentuk-bentuk produktif dinilai oleh sementara orang sebagai suatu rekayasa baru yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama klasik. Akibatnya zakat hanya dapat menutup kebutuhan sesaat bagi para mustahiqin (penerima zakat), dan sesudah itu mereka akan kembali menjadi beban masyarakat.

Pemahaman tekstual seperti ini tampaknya perlu dikaji ulang. Apabila tidak, zakat hanya akan menjadi akfitas rutin yang dilakukan setiap tahun.

Fitrah dan Mal

Dalam pengalokasian harta zakat, perlu dibedakan lebih dahulu antara zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta kekayaan). Zakat fitrah disyariatkan dengan tujuan antara lain agar kaum dhuafa dapat ikut bergembira pada Hari Raya Idul Fitri. Dari sini, zakat fitrah cenderung disalurkan dalam bentuk konsumtif. Apalagi bila diingat bahwa zakat fitrah wajib dibayarkan dalam bentuk makanan pokok. Ini merupakan isyarat bahwa zakat fitrah harus dialokasikan dalam bentuk konsumtif.

Berbeda halnya dengan zakat mal. Ia wajib dikeluarkan dari jenis mal yang dizakati, hasil pertanian, binatang ternak, emas, dan sebagainya. Jenis-jenis mal yang wajib dizakati ini memiliki `illah (kausalitas yang dominan), yaitu al-nama’ (dapat berkembang atau dikembangkan). Ini merupakan pertanda bahwa harta benda yang menjadi penunjang jalannya roda kehidupan itu dapat dikembangkan. Dan harta zakat juga tidak dapat berkembang atau dikembangkan apabila ia hanya dialokasikan dalam bentuk-bentuk konsumtif saja.

Karenanya, dalam rangka ekstensifikasi pendayagunaan harta zakat, penyaluran harta zakat dalam bentuk-bentuk produktif tampaknya merupakan alternatif yang tepat.

Khazanah Masa Lalu

Anggapan sementara orang bahwa peyaluran harta zakat dalam bentuk produktif merupakan rekayasa kontekstual yang dilakukan oleh orang-orang belakangan adalah tidak dapat dibenarkan. Sejak dahulu, para murid dan atau penerus Madzhab Syafi’i – yang dalam literatur fiqih disebut Ash’hab al-Syafi’i – telah melakukan pendekatan-pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber agama baik al-Qur’an maupun Hadis Nabawi. Dalam masalah zakat mereka telah melakukan pendekatan kontekstual sehingga harta zakat dapat dialokasikan dalam bentuk-bentuk produktif.

Imam Nawawi salah seorang ulama kondang dari Madzhab Syafi’i yang wafat pada tahun 676 H, dalam kitabnya al-Majmu’ Syarii l-Muhadzdzhab; vol vi/ 194: menuturkan, “Ash’hab kami (murid-murid Imam Syafi’i dan atau penerus madzhab¬nya) mengatakan, apabila fakir atau miskin itu sudah biasa bekerja (mempunyai keterampilan), maka ia diberi harta zakat untuk dipakai modal bekerja atau membeli alat-alat pekerjaannya, baik alat-alat itu berharga murah atau mahal. Sebagai ukuran hal itu ialah sekira dengan keuntungan dari pekerja¬annya itu ia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak.”

Dalam halaman yang sama beliau juga mengatakan, “Ash’hab kami menuturkan, apabila fakir dan miskin itu tidak mempunyai keteram¬pilan sama sekali. baik bekerja, berdagang, maupun ke-terampilan lainnya, maka ia diberi harga zakat untuk mencukupi kebutuhan yang layak sepanjang hidupnya, dengan ukuran menurut kebutuhan setempat untuk orang-orang seperti dia, dan tidak diukur dengan kebu¬tuhan satu tahun.”

Dari keterangan Imam Nawawi ini dapat disimpulkan bahwa Ash’hab al-Syafi’i cenderung untuk mengangkat martabat golongan ekonomi lemah dan membebaskan fakir dan miskin dari belenggu kefakiran dan kemiskinan. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa penyaluran harta zakat dalam bentuk konsumtif hanya diberikan kepada orang-orang yang memang tidak mempunyai kete¬rampilan bekerja sama sekali.

Apa yang dimaksud dengan Ash’hab Syafi’i oleh Imam Nawawi adalah para ulama Madzhab Syafi’i yang hidup sebelum atau sezaman dengan Imam Nawawi. Bila demikian halnya, maka pen-dekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber agama telah dilakukan oleh ulama Madzhab Syafi’i pada periode klasik. Dan hal ini merupakan khazanah keilmuan Islam masa lalu, bukan rekayasa para ilmuwan muslim belakangan.

Karenanya, apabila pada masa-masa belakangan muncul suara-suara yang menghendaki dilakukannya pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber agama, maka sebenarnya mereka itu tidak lebih dari memutar kembali “kaset-kaset Madzhab Syafi’i” yang direkam pada masa lalu. Ini kalau mereka itu mengakui hal itu. Apabila mereka tidak meng¬akui, maka sebenarnya mereka tidak lebih dari `mujtahid-mujtahid’ yang ketinggalan zaman. Sebab rekayasa ilmiyah mereka telah didahului oleh ulama Madzhab Syafi’i sekitar seribu tahun yang lalu.

Ulama Kontemporer

Hasil-hasil ijtihad Ash’hab al-Syafi’i yang klasik itu ternyata tetap mendapat dukungan oleh pakar-pakar fiqih yang relatif kontemporer. Sebut saja misalnya. Syeikh al-Bajuri (wafat 1277 H/ 1860 M). Dalam kitabnya Hasyiah vol I/281, beliau mengatakan. “Orang-orang fakir dan miskin diberi harta zakat yang cukup untuk biaya sepanjang hidup¬nya yang wajar, sehingga dengan harta itu mereka dapat membeli ladang/sawah untuk digarap. Pemerintah juga dapat membelikan la-dang/sawah untuk orang-orang fakir dan miskin dari harta zakat, sebagaimana halnya kepada prajurit yang berperang. Hal ini apabila orang-orang fakir dan miskin tadi tidak mempunyai kete-rampilan berusaha.

Apabila fakir dan miskin tadi mempunyai kemampuan dalam keterampilan, maka mereka diberi harta zakat yang dapat dipakai untuk membeli alat-alat keterampilan itu. orang-orang fakir dan miskin yang mampu berdagang, mereka diberi harga zakat yang dapat dijadikan modal, di mana keuntung¬annya dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka secara layak.

Luar biasa sebenarnya pe¬mikiran para ulama Madzhab Syafi’i pada masa lalu. Mereka sudah mampu mengantisipasi keadaan-keadaan yang akan terjadi. Karenanya, ulama seperti Syeikh al-Bajuri pun menilai bahwa hasil ijtihad Ash’hab al-Syafi’i itu tetap relevan dan aktual untuk diaplikasikan pada zaman¬nya. Bahkan sampai sekarang hasil-hasil ijtihad itu tetap relevan dan aktual, serta layak untuk diaplikasikan.

Hanya masalahnya, entah mengapa hasil-hasil ijtihad itu sampai kini nyaris hanya tersimpan dalam rak-rak buku penghias ruang tamu, atau di tempat-tempat penyimpanan buku yang sering disebut dengan perpustakaan. Tampaknya diperlukan adanya keberanian moral untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikan hasil-hasil ijtihad itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan dengan demikian sebenarnya kita tidak memerlukan kontekstualisasi dan reaktualisasi ajaran Islam, kecuali apabila yang dimaksud dengan istilah-istilah itu adalah mengaplikasikan hasil-hasil ijtihad yang sudah ada, bukan melakukan reijtihad seperti yang dipahami selama ini.

Sumber: http://www.masjidistiqlal.or.id/Kajian/tabid/976/ID/6085/Alokasi-Produktif-Harta-Zakat.aspx